Makalah Dasar-Dasar Ilmu Tanah

PERAN CACING TANAH KELOMPOK ENDOGAESIS
DALAM MENINGKATKAN EFISIENSI
PENGOLAHAN TANAH LAHAN KERING
 (Makalah Dasar-Dasar Ilmu Tanah)





Disusun Oleh :

(
Kelompok 8)
I Gede Agung             1314121079
Iftitah Rahmat Gusri   1314121081
Karina Zulkarnain       1314121095





download.jpg




JURUSAN AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
2014


I.                   PENDAHULUAN


1.1 Latar Belakang
Indonesia yang berada di kawasan vulkanik tropis basah dengan bentuk lahan bergelombang, sebagian besar memiliki kemiringan lereng yang cukup tinggi dan didominasi oleh tanah lahan kering marginal. Pengembangan pertanian lahan kering memerlukan pengolahan tanah yang intensif agar daya dukung tanah untuk tanaman tetap tinggi. Pada tanah tropis basah, setelah pembukaan lahan dan pengolahan tanah, kandungan humus menyusut secara cepat dan habitat fauna tanah rusak sehingga kesuburan tanah menurun tajam
(Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2000).

Ketergantungan pada pasokan pupuk dari luar dan upaya memperbaiki sifat fisik tanah secara mekanis semakin besar sehingga pengelolaan usaha tani menjadi mahal. Mekanisasi menggunakan alat berat untuk pengolahan tanah selain dapat memadatkan tanah lapisan bawah juga mengganggu populasi organisme tanah, terutama makro dan mesofauna. Pada tanah Oxisol di Jambi pemulihan populasi fauna tanah 2 tahun setelah pembukaan lahan lebih cepat pada pembukaan lahan secara manual dibanding yang dibuka dengan menggunakan alat berat. Kondisi fisik tanah lahan budi daya merosot sangat tajam dan fauna tanah yang memiliki ukuran panjang >2 mm menurun, padahal fauna tanah sangat bermanfaat bagi vegetasi alami untuk menjaga kondisi fisik tanah. Upaya menurunkan kepadatan tanah dengan mekanisasi hanya mampu meng- gemburkan tanah sampai kedalaman <10 cm dan berlangsung sementara. Hal ini karena tanah lapisan atas miskin bahan organik dan populasi organisme tanah mengalami penurunan atau musnah sehingga stabilitas agregat yang terbentuk bersifat labil. Pemulihan kembali aktivitas organisme tanah, terutama fauna tanah pada lahan pertanian


intensif penting dilakukan. Cacing tanah geofagus endogaesis dalam siklus hidupnya dapat membuat liang dalam tanah dengan memakan massa tanah dan bahan organik. Aktivitas cacing tanah akan menghancurkan atau mencegah terjadinya pemadatan tanah dan mengangkat liat maupun bahan-bahan lain dari horison argilik kembali ke lapisan atas. Kepadatan  tanah  secara nyata dapat menurunkan berat, volume, kerapatan dan panjang akar, serta nisbah antara akar dan batang (Barus, A., Sutono, dan H. Suwardjo. 1988).

Berdasarkan jenis makanannya, secara fungsional cacing tanah dikelompokkan
menjadi tiga, yaitu :
1. litter feeder (pemakan bahan organik sampah, kompos, pupuk hijau)
     2. limifagus (pemakan tanah subur/mud atau tanah basah)
     3. geofagus (pemakan tanah).
Berdasarkan tempat hidupnya, cacing tanah dikelompokkan menjadi \
1. epigaesis (hidup di permukaan tanah)
2. anasaesis (hidup dengan liang permanen di dalam tanah)
3. endogaesis (hidup di dalam tanah dengan membuat liang terus-menerus). Spesies cacing tanah epigaesis dan anasaesis banyak ditemukan di daerah subtropis, dan di daerah tropis yang dominan adalah endogaesis. Dalam upaya meningkatkan efisiensi pengolahan tanah lahan kering, cacing tanah kelompok endogaesis penting untuk dimanfaatkan. Selain memperbaiki sifat fisik tanah dan mengonservasi bahan organik tanah, cacing tanah juga meningkatkan kesuburan tanah secara alami dan berlangsung secara terus-menerus (Brata, K.R. 1999).

1.2 Tujuan
Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Mengetahui peran cacing dalam pengolahan tanah
2.      Mengetahui tujuan dari pengalohan tanah
3.      Mengetahui hbungan cacing dengan unsur hara tanah


II.                ISI


2.1  Mekanisme Cacing Tanah Endogaesis Mengolah Tanah
Tanah lahan kering di Indonesia didominasi oleh Ultisol dengan luas lebih kurang 45,8 juta ha atau 24% luas daratan Indonesia. Ultisol mempunyai topografi berombak sampai berbukit dengan horison argilik / kandik, bersifat masam, Al dapat ditukar tinggi, kejenuhan basa rendah, dan didominasi liat kaolinit. Adanya horison argilik dengan kepadatan yang tinggi dan dekat permukaan tanah akan menghambat laju perkolasi air hujan maupun penetrasi akar tanaman. Apabila terjadi hujan, tanah lapisan atas akan cepat menjadi jenuh air dan selanjutnya akan mengalami erosi dan pencucian. Demikian pula kegiatan penyiapan lahan dengan menggunakan alat berat akan menambah kepadatan tanah lapisan bawah dan menurunkan populasi fauna tanah (Sudharto, dkk. 1988).

K
epadatan tanah merupakan masalah penting pada tanah pertanian tropis. Erosi tanah selama satu musim tanam pada pembukaan lahan dengan alat berat lebih tinggi dibandingkan dengan cara manual. Pelapukan bahan organik dan pencucian hara di daerah tropis basah berlangsung intensif sehingga kandungan bahan organik  tanah  cepat  menurun dan pH tanah menjadi masam. Kandungan bahan organik tanah yang rendah akan menekan populasi organisme tanah dari kelompok detritivor sehingga populasi cacing tanah pada tanah lahan pertanian intensif menjadi rendah dan perbaikan kesuburan tanah secara alami tidak dapat berlangsung. Penurunan jumlah dan kualitas bahan organik serta aktivitas biologi dan keanekaragaman fauna tanah merupakan bentuk degradasi tanah yang penting di wilayah tropis basah. Terganggunya aktivitas biologi tanah menyebabkan pendauran hara dan perbaikan sifat fisik dan kimia tanah secara alami tidak berjalan sebagaimana mestinya. Liang cacing tanah meningkatkan infiltrasi dan


aerasi, menurunkan aliran permukaan dan erosi. Pembuatan liang di dalam tanah tidak hanya untuk mendukung pergerakan cacing tanah menghindari tekanan lingkungan, tetapi juga sebagai tempat menyimpan dan mencerna makanan. Setelah melalui pencernaan, sisa-sisa bahan yang termakan dilepaskan kembali sebagai buangan padat. Dengan adanya perbaikan aerasi tanah, respirasi akar tanaman maupun mikroba aerobik berlangsung dengan baik (Wibowo, S. 2000).

Cacing tanah endogaesis geofagus mampu mengkonsumsi bahan organik dari fraksi ringan sampai berat, selanjutnya diakumulasi dalam kasting dan dideposit di daerah rhizosfir. Dalam kasting yang padat dan stabil, C-organik terlindung dari dekomposisi untuk dilepaskan sebagai CO2. Dengan demikian, nilai fungsi dan sebaran bahan organik untuk mendukung pertumbuhan tanaman menjadi lebih efektif dan lestari. Cacing tanah dapat ditemukan pada lahan kering masam sampai alkali, biasanya hidup pada tanah bertekstur halus (liat, liat berdebu atau lempung berdebu) dan jarang ditemukan pada tanah berpasir. Aktivitas cacing tanah sangat membutuhkan bahan organik sebagai pakan, juga naungan dan air. Cacing tanah yang dapat membuat liang di dalam tanah dapat mengolah tanah secara biologi dan berlangsung terus-menerus sesuai dengan daya dukung dan tidak merusak akar. Pada kondisi kering (musim kemarau), cacing tanah akan menutup mulut liang untuk mencegah kehilangan air melalui evaporasi. Sebaliknya pada saat tergenang (musim hujan), cacing akan membuka mulut liang untuk mempercepat evaporasi (Tala’ohu, S.D., H. Suwardjo, dan A. Barus. 1988).

2.2 Perlindungan Bahan Organik Tanah
Peran penting bahan organik di dalam tanah adalah sebagai pemasok hara bagi
tanaman, meningkatkan kapasitas pertukaran ion, memantapkan agregat, me- ningkatkan kapasitas tanah menahan air, dan sebagai sumber energi biota tanah. Cacing tanah detritifora, bersifat selektif dalam memilih bahan organik. Sementara cacing tanah yang bersifat geofagus tidak secara nyata dipengaruhi oleh faktor palatabilitas jenis bahan organik. Dengan demikian, cacing tanah geofagus dapat melakukan proses pencernaan terhadap segala bentuk C-organik yang ada di dalam tanah. Pelepasan C-organik harian melalui ekskresi mukus dari permukaan tubuh dan kotoran cacing tanah berkisar antara 0,2– 0,5% dari total biomassa cacing tanah. Cacing tanah geofagus dapat mencerna bahan organik dalam spektrum yang luas dan 10–19% terasimilasi dalam biomassa dan sisanya dilepaskan kembali melalui kasting (Hardjowigeno, S. 1993).

Komunitas cacing tanah geofagus mampu mencerna tanah 800−1.100 t/ha/ tahun, terutama pada tanah lapisan atas, sehingga > 60% humus pool tanah lapisan atas hingga kedalaman 10 cm telah mengalami pencernaan oleh cacing tanah. Pencernaan oleh cacing tanah menghasilkan kotoran yang merupakan makroagregat stabil dan agregat ini dapat bertahan lebih dari 1 tahun. Kandungan C-organik pada kotoran cacing dua kali lebih tinggi pada lapisan 0–5 cm dan tiga kali lebih banyak pada lapisan 5–10 cm dibanding tanah di sekitarnya. Tingginya kandungan C-organik di dalam tanah tropis basah dapat mendukung kelestarian nilai fungsi bahan organik untuk meningkatkan produktivitas tanah. Dengan kemampuan menekan laju dekomposisi bahan organik, cacing tanah endogaesis dapat dimanfaatkan untuk mencegah penyusutan bahan organik tanah secara cepat
(Subowo. 2002).

2.3 Teknologi Aplikasi Cacing Tanah
Cacing tanah pada prinsipnya dapat ditemukan pada tanah lahan kering masam sampai alkali yang memiliki air cukup. Jenis-jenis cacing tanah asli biasanya hidup pada tanah bertekstur halus, umumnya liat, liat berdebu atau lempung berdebu, dan jarang ditemukan pada tanah berpasir. Umumnya cacing hidup pada pH 4,5–6,6, tetapi dengan bahan organik tanah yang tinggi mampu berkembang pada pH 3. Cacing tanah membutuhkan kelembapan yang cukup, dan tidak mampu hidup pada kondisi kering atau daerah padang pasir. Air diperlukan untuk ekskresi, pembasahan kulit untuk respirasi, dan melicinkan tubuh untuk bergerak dalam liang. Namun, sebagian cacing tanah mampu bertahan hidup pada kondisi kering dengan berdiam diri selama beberapa bulan atau berada pada kondisi diapause. Suhu dan tekanan air tanah yang optimum bagi Lumbricus terrestris untuk mengonsumsi makanan adalah pada 22oC dan -7 kpa, dan pada -40 kpa sudah tidak mampu makan. Cacing tanah tidak memiliki mekanisme untuk melindungi diri terhadap perubahan tekanan isapan air tanah. Isapan air tanah sampai 60 kpa tidak menurunkan berat cacing. Isapan air tanah 167 kpa merupa- kan kondisi perbedaan maksimum antara kandungan air dalam cacing tanah dengan kadar air tanah, dan bila melebihi 620 kpa cacing tanah mengalami diapause (Subowo, A. Kentjanasari, dan E. Sumantri. 2003).

Cacing tanah endogaesis merupakan cacing tanah yang hidup dan berkembang di dalam tanah dengan aktif melakukan penggalian tanah dengan mengonsumsi massa tanah. Kasting didepositkan di liang yang ditinggalkan, baik liang vertikal maupun horizontal. Cacing tanah endogaesis umumnya memiliki pigmentasi yang rendah sehingga sangat peka terhadap sinar matahari, terutama sinar ultraviolet. Pada saat musim kawin, cacing berada di permukaan tanah pada malam hari. Oleh karena itu, inokulasi di lapang sebaiknya dilakukan pada malam hari atau pada saat sinar matahari teduh. Inokulasi cacing tanah endogaesis di lapangan dapat menggunakan cacing tanah dewasa atau kokon. Inokulasi dengan kokon dilakukan dengan membenamkan kokon di dalam tanah dan kadar air tanah dijaga pada kondisi kapasitas lapang. Bersamaan dengan inokulasi, diberikan bahan organik yang cukup jumlah maupun jenisnya pada tempat yang sesuai dengan area jelajah cacing yang dikehendaki. Untuk melakukan pengolahan tanah dalam, bahan organik harus juga tersedia pada lapisan tersebut dengan permukaan bahan organik tetap terbuka agar pelepasan gas ke udara tetap terjaga. Untuk meningkatkan hasil tanaman, dapat diinokulasikan cacing tanah >30 ekor/m2
(Subowo, M. Suhardjo, dan H. Suwardjo. 1988).

III.             KESIMPULAN

Tanah lahan kering di Indonesia di dominasi tanah berlereng, erosi dan pencucian hara berlangsung intensif, kandungan bahan organik dan populasi fauna tanah rendah. Pengolahan tanah secara mekanis sulit dilakukan dan efisiensi pemupukan rendah. Pemberdayaan cacing tanah kelompok endogaesis diikuti pemberian bahan organik yang tepat jenis, jumlah, dan penempatannya mampu menurunkan kepadatan tanah, mengonservasi bahan organik tanah, dan mengonsentrasikan hara pada rhizosfir secara alami. Dengan demikian, pengolahan tanah lahan kering untuk meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah menjadi lebih efisien dan lestari. Inventarisasi dan evaluasi potensi cacing tanah kelompok endo- gaesis, kesesuaian daya dukung habitat, cara perbanyakan, cara inokulasi, serta perbaikan habitat diperlukan untuk mengarahkan aktivitas jelajah cacing tanah sesuai dengan yang dikehendaki.

DAFTAR PUSTAKA

Barus, A. dan H. Suwardjo. 1988. Rehabilitasi tanah padat akibat pembukaan lahan secara mekanis dengan tanaman penutup dan pe- ngolahan tanah. hlm. 7–16. Laporan Hasil Penelitian Pascapembukaan Lahan Menun- jang Transmigrasi di Kuamang Kuning, Jambi. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Barus, A., Sutono, dan H. Suwardjo. 1988. Pengaruh tanaman penutup dan pengolahan tanah terhadap pertumbuhan dan produksi kedelai pada beberapa cara pembukaan lahan. hlm. 127–136. Laporan Hasil Penelitian Pascapembukaan Lahan Menunjang Trans- migrasi di Kuamang Kuning, Jambi. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Brata, K.R. 1999. The introduction of earth- worm as biological tillage agent for the improvement of soil physical and chemical properties in upland agriculture. p. 80–85. Proc. International Seminar Toward Sustain- able Agriculture in Humid Tropics Facing 21st Century, Bandar Lampung, Indonesia, 27–28 September 1999.
Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo, Jakarta. 274 hlm.
Subagyo, H., N. Suharta, dan A.B. Siswanto. 2000. Tanah-tanah Pertanian di Indonesia. hlm. 21–65. Dalam Tim Puslittanak (Ed.) Sum- ber Daya Lahan Indonesia dan Pengelola- annya. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Subowo, M. Suhardjo, dan H. Suwardjo. 1988. Pengaruh humus hutan dan pestisida tanah terhadap pemulihan kesuburan tanah rusak akibat


pembukaan lahan secara mekanis. hlm. 37–45. Laporan Hasil Penelitian Pasca- pembukaan Lahan Menunjang Transmigrasi di Kuamang Kuning, Jambi. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Subowo. 2002. Pemanfaatan Cacing Tanah (Phe- retima hupiensis) untuk Meningkatkan Produktivitas Ultisols Lahan Kering. Disertasi, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 94 hlm.
Subowo, A. Kentjanasari, dan E. Sumantri. 2003. Aktivitas cacing tanah (Pheretima hupien- sis) pada bahan tanah Ultisol lapisan atas di terarium. hlm. 137–156. Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Sumberdaya Tanah dan Iklim. Buku II. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat, Bogor.
Sudharto, T., H. Suwardjo, A. Barus, dan D. Supardy. 1988. Pemberian cacing tanah (Perionyx excavatus, E. Perr.) dalam usaha rehabilitasi lahan rusak akibat pembukaan lahan secara mekanis. hlm. 93–98. Laporan Hasil Penelitian Pascapembukaan Lahan Menunjang Transmigrasi di Kuamang Ku- ning, Jambi. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.
Tala’ohu, S.D., H. Suwardjo, dan A. Barus. 1988. Pengaruh cara pembukaan lahan terhadap erosi serta pertumbuhan dan hasil kacang tanah. hlm. 67–75. Laporan Hasil Penelitian Pascapembukaan Lahan Menunjang Trans- migrasi di Kuamang Kuning, Jambi. Pusat Penelitian Tanah, Bogor.

Wibowo, S. 2000. Keragaman dan Populasi Cacing Tanah pada Lahan dengan Berbagai Masukan Bahan Organik di Daerah Lampung. Tesis, Program Pascasarjana Institut Perta- nian Bogor. hlm. 203.

Komentar

Postingan Populer