KEBIJAKAN EKSPOR UDANG INDONESIA KE UNI EROPA (Makalah Ilmiah Sistem Bio Bisnis)


KEBIJAKAN EKSPOR UDANG INDONESIA KE UNI EROPA

(Makalah Ilmiah Sistem Bio Bisnis)





Dosen : Prof. Dr. Ir. Bunasor Sanim, Msc






 












Kelompok 3 :

Arif Dzulfikar            K15190029
Fadhil Muhammad    K15190035
Iriando Wijaya           K15190037
Karina Zulkarnain    K15190040
Nabila Natasha          K15190046
Zana Aprilia               K15190055






MAGISTER MANAJEMEN DAN BISNIS
SEKOLAH BISNIS
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2019

KATA PENGANTAR


Puji syukur penulis panjatkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat rahmat-Nya sehingga Makalah ilmiah yang berjudul ”Kebijakan Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa” dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Makalah ilmiah ini disusun untuk memenuhi syarat mengikuti “Ujian Akhir Matakuliah Sistem Bio Bisnis”.

Dalam penyusunan makalah ilmiah ini, penulis mendapat banyak bantuan, masukan, bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih yang tulus kepada:
1.        Allah SWT yang telah memberikan nikmat dan karunia-Nya yang tiada henti sehingga kami diberi kelancaran dan kesehatan dalam menyusun tugas ini.
2.        Prof.Dr. Ir. H. Bunasor Sanim, M.Sc sebagai dosen pengajar matakuliah Sistem Bio Bisnis yang telah meluangkan waktu, memberikan masukan, memberikan motivasi, bimbingan, serta ilmu pengetahuan.
3.        Arif Dzulfikar, Iriando Wijaya, Fadhil Muhammad, Karina Zulkarnain, Nabila Natasha, Zana Aprillia sebgaia tim penyusun yang telah meluangkan waktu dan pikirannya dalam menyelesaikan tugas ini dengan semaksimal mungkin dan dengan hasil yang luar biasa menakjubkan.

Kami mengakui bahwa kami adalah manusia yang mempunyai keterbatasan dalam berbagai hal. Oleh karena itu tidak ada hal yang dapat diselesaikan dengan sangat sempurna. Begitu pula dengan makalah ilmiah ini yang telah kami selesaikan. Tidak semua hal dapat kami deskripsikan dengan sempurna dalam makalah ilmiah ini. Maka dari itu, kami bersedia menerima kritik dan saran dari pembaca.




Bogor, 13 Agustus 2019



Penulis
DAFTAR ISI

Halaman


KATA PENGANTAR  ....................................................................................
1


DAFTAR ISI  ...................................................................................................
2


PENDAHULUAN  ...........................................................................................
3


TINJAUAN PUSTAKA  .................................................................................
5


Pengertian Ekspor  ........................................................................................
5
Kebijakan Ekspor di Indonesia  ....................................................................
7
Perjanjian Perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa  .................................
8


HASIL DAN PEMBAHASAN  .......................................................................
12


Potensi Pasar Ekspor Udang di Uni Eropa  ..................................................
12
Permasalahan Penurunan Kualitas Udang Ekspor Indonesia ke Uni Eropa
14
Persyaratan dan Regulasi Non Tarif untuk Ekspor Udang  ..........................
15
Solusi Terhadap Penurunan Kualitas Udang Ekspor di Hulu  ......................
17
Solusi Terhadap Penurunan Kualitas Udang Ekspor di Hilir .......................
18
Hambatan Tarif di Uni Eropa .......................................................................
19
Rincian Hambatan Tarif di Uni Eropa ..........................................................
21
Solusi Terhadap Hambatan Tarif Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa ...
23


KESIMPULAN  ...............................................................................................
24


SARAN  ............................................................................................................
25


DAFTAR PUSTAKA  .....................................................................................
26


 
PENDAHULUAN

            Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki potensi yang cukup besar di bidang perikanan, terutama karena memiliki luas perairan mencakup 5,8 juta km2 atau sama dengan 2/3 dari luas wilayah Indonesia. Berdasarkan luas perairan yang meliputi 2/3 bagian dari total luas wilayahnya, Indonesia memiliki potensi hasil perikanan yang melimpah baik perikanan tangkap maupun perikanan budaya. Dengan demikian, Indonesia dapat menjadi salah satu negara yang dapat merajai bisnis perikanan dunia. Adanya keunggulan tersebut membuat Indonesia memiliki peluang yang besar untuk terus melakukan ekspansi perdagangan produk hasil perikanan di pasar dunia.

             Peningkatan ekspor yang terjadi tidak terlepas dari meningkatnya konsumsi produk perikanan, karena adanya perubahan pola makan masyarakat dunia dari red meat ke white meat. Hal ini berarti peluang terhadap peningkatan eskpor komoditas perikanan semakin besar. Meskipun jumlah ekspor udang Indonesia masih tergolong fluktuatif dan mengalami penurunan pada tahun 2009 dan 2010, namun udang tetap menjadi salah satu komoditas andalan ekspor perikanan Indonesia. Fluktuasi ekspor udang Indonesia tersebut diduga karena adanya persaingan yang cukup ketat dengan negara eksportir udang lainnya yang diketahui memiliki teknologi, cara pengolahan, dan strategi pemasaran yang lebih baik (Setiyorini,2010).

            Seiring perkembangan dan kemajuan ilmu dan teknologi khususnya di bidang pangan, udang semakin akrab dengan para konsumen di negara maju sebagai bahan yang bergizi. Hal ini membuat harga udang di pasar internsional sangat beragam. Keragaman harga ini bukan saja berkaitan dangan ukuran, warna, tekstur, cita rasa, dan bentuk penyajian produknya, tetapi juga berkaitan dengan prefensi konsumen dengan negara asal udang tersebut. Udang putih (white shrimps) yang berasal dari laut tropika di pasaran Amerika Serikat dan Eropa memiliki harga yang lebih baik jika dibandingkan dengan udang warna lain di perairan yang sama. Kuruma shrimps (Panaeus japonicus) memiliki harga yang istimewa di pasar Jepang. Di pasaran Eropa, tiger shrimps memiliki harga yang tinggi karena ukuran, tekstur daging, dan cita rasanya banyak digemari oleh para konsumen di pasar yang bersangkutan (Murty,1991)

             Nilai ekspor komoditas udang lebih tinggi dibandingkan komoditas perikanan yang lain. Hal ini terlihat pada jumlah eskpor udang Indonesia ke dunia pada tahun 2015 terlihat fluktuatif. Pada tahun 2015 sebesar 1,356,323; meningkat pada tahun 2016 sebesar 1,464,399; tahun 2017 sebesar 1,689,721 dan menurun kembali pada tahun 2018 sebesar 1,574,130.

            Uni Eropa (disingkat UE) adalah organisasi antar pemerintahan dan supranasional yang beranggotakan negara-negara Eropa. Sejak 1 juli 2013 telah memiliki 28 negara anggota. Persatuan ini didirikan atas nama tersebut di bawah Perjanjian Uni Eropa (yang lebih dikenal dengan Perjanjian Maastrict) pada 1992. Namun, banyak aspek dari UE timbul sebelum tanggal tersebut melalui organisasi sebelumnya, kembali ke tahun 1950-an.

            Perjanjian bilateral Indonesia dengan Uni Eropa di bidang ekonomi dan pembangunan telah terjalin cukup lama. Perjanjian bilateral yang di sepakati yakni, perjanjian Kemitraan Sukarela-Penegajan Hukum, Tata Kelola Perdagangan di bidang Kehutanan (Forest Law Enforcement, Governance and Trade – Voluntary Partnership Agreement/ FLEGT-VPA); Perjanjian Horizontal untuk Beberapa Aspek Jasa Penerbangan (Horizontal Agreement on Certain Aspects of Air Services) dan Perjanjian Kemitraan Ekonomi Menyeluruh RI-Uni Eropa (Comprehensive Economic Partnership Agreement RI-UE/IEU CEPA) telah dimulai pada tahun 2016.

 Jumlah ekspor udang dari Indonesia ke Uni Eropa pada tahun 2015 sebesar 67,693 terus menurun pada tahun 2016 sebesar 64,060; pada tahun 2017 sebesar 51,674 dan pada tahun 2018 sebesar 53,223. Penurunan jumlah ekspor udang setiap tahunnya menyebabkan perlu diadakan penelitian untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi dan kebijakan untuk mengatasinya.

TINJAUAN PUSTAKA


Pengertian Ekspor


Kegiatan ekspor dan impor merupakan suatu kegiatan dalam perekonomian terbuka yang dilakukan antar negara. Kegiatan ini dilakukan karena tidak adanya negara yang benar-benar mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri. Ketidakmampuan ini terjadi karena perbedaan-perbedaan yang ada di negara itu sendiri. Karakteristik yang berbeda seperti sumber daya alam, iklim, geografi, demografi, struktur ekonomi, maupun struktur sosial menjadi perbedaan yang mendasari negara tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri. Sehingga kegiatan pemenuhan perlu dilakukan negara baik impor dan ekspor (Sutedi 2014).

Ekspor adalah kegiatan perdagangan yang mengeluarkan produk yang dilakukan dalam kawasan Indonesia dengan mengikuti peraturan yang berlaku di Indonesia (Sutedi 2014). Produk yang akan diekspor dihasilkan oleh badan usaha yang disebut eksportir. Eksportir yang menjadi pelaku usaha produk juga harus mengikuti peraturan yang berlaku. Peraturan ini mengikat untuk semua badan usaha baik dalam bentuk perorangan maupun perusahaan atau badan hukum. Selain eksportir dalam kegiatan transaksi terdapat juga kelompok intendor, importir, promosi, eksporir, dan pendukung. Selama kegiatan ekspor terdapat dokumen-dokumen penting yang harus disiapkan oleh pelaku transaksi ekspor tersebut, seprti dokumen pentin (invoice, dokumen pengangkutan, asuransi), dokumen tambahan (packing list, certificate of origin, certificate of inspection, certificate of quality). Ekspor terjadi jika sudah terdapat kesepakatan para pelaku usaha. Kesepakatan terjadi dengan beberapa tahapan. Tahapan pertama adalah tahapan prakontraktural dan post kontraktural. Tujuan dilakukannya ekspor adalah meningkatkan laba pasar dengan kondisi perluasan pasar hingga ke negara lain dengan harga yang lebih baik (optimalisasi laba), perluasan pasar dari pasar domestik ke pasar internasional, memanfaatkan fasilitas yang terpasang (idle capacity), dan sebagai ajang untuk menunjukkan negara tersebut dapat bersaing dengan negara lain.  Kegiatan ekspor memiliki beberapa ciri-ciri seperti:
1.      Adanya pembatas secara wilayah teritorial negara antara penjual dan pembeli dalam kegiatan ekspor,
2.      Terdapat perbedaan nilai mata uang antar negara. Nilai mata uang dolar Amerika Serikat menjadi solusi atas permasalahan ini. Terdapat nilai mata uang lainnya yang digunakan dalam transaksi ekspor seperti mata uang poundsterling milik negara Inggris, dan Yuan milik negara Jepang,
3.      Sering terjadi transaksi antara penjual dan pembeli yang masih baru menjalin kerjasama pengadaan produk,
4.      Terdapat perbedaan kebijakan antar negara, seperti perbedaan kebijakan embargo, lalu lintas barang, dan labeling produk yang akan dikirim ke luar daerah atau wilayah tersebut,
5.      Terdapat perbedaan tingkat pemahaman bahasa antar pelaku transaksi dan teknologi yang digunakan antar pelaku transaksi jual beli.

Negara Indonesia menjadikan beberapa sektor yang fokus untuk pemenuhan permintaan produk ekspor, yang dibagi menjadi dua yaitu sektor migas dan non migas. LNG (Liquid Natural Gas), LPG (Liquid Petroleum Gas), dan beberapa produk lainnya menjadi contoh produk yang diekspor keluar Indonesia dalam sektor migas. Sektor non migas seperti manufaktur, komoditas pertanian, dan komoditas pertambangan. Sektor non migas seperti komoditas pertanian, komoditas pertambangan, dan komoditas yang dihasilkan dari kegiatan manufaktur. Komoditi setiap barang ekspor memiliki perbedaan yang menyebabkan adanya daya saing antar produk. Baik perbedaan dengan faktor langsung terhadap produk maupun fakor tidak langsung ke produk tersebut. Faktor langsung yang mempengaruhi daya saing produk ekspor seperti mutu produk (disain, fungsi, dan ketahan produk), biaya produksi dan penentuan harga jual, dan harga dumping. Faktor tidak langsung yang memberikan pengaruh ke daya saing seperti kondisi saran pendukung (perbankan, transportasi, birokrasi pemerintahan, surveyor, dan bea cukai), kebijakan insentif atau kebijakan subsidi yang dilakukan pemerintah, kendala tarif, kondisi efisiensi akan produk yang dibuat, dan kondisi ekonomi global yang dipengaruhi oleh negara-negara maju yang berpengaruh di dunia.  

Kebijakan Ekspor dari Indonesia

            Berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2019, kegiatan ekspor hewan dan/atau produk hewan hanya dapat dilakukan eksportir yang telah mendapat persetujuan ekspor dari menteri dan dilakukan ketika kebutuhan benih, bibit, dan/atau bakalan hewan dalam negeri telah terpenuhi dan kelestarian ternak lokal terjamin.

Produk yang dapat digunakan sebagai komoditas untuk ekspor jenis hewan dan/atau jenis hewan merupakan barang Eksportir diwajibkan mengajukan permohonan agar dapat melakukan kegiatan ekspor. Permohonan dibuat secara elektronik kepada Direktur Jenderal melalui Direktur Ekspor dengan melampirkan:
1.      Surat Izin Usaha Perdagangan atas surat izin usaha di bidang peternakan dan kesehatan hewan;
2.      Nomor Induk Berusaha (NIB); dan
3.      Rekomendasi dari Menteri Pertanian atau penjabat yang ditunjuk oleh Menteri Pertanian.

Apabila eksportir ingin membuat perubahan dokumen terkait dengan persetujuan ekspor, eksportir harus mengajukan permohonan perubahan persetujuan ekspor secara elektronik kepada Direktur Jenderal melalui Direktur Ekspor dengan melampirkan dokumen yang mengalami perubahan dan persetujuan ekspor. Eksportir dapat mengajukan permohonan perubahan persetujuan ekspor dalam hal terdapat perubahan mengenai:
1.      Uraian barang;
2.      Pos tarif/HS 8 (delapan) digit;
3.      Jumlah dan satuan barang;
4.      Pelabuhan muat dan/atau;
5.      Negara tujuan ekspor;

Dalam proses ekspor udang dari Indonesia, para pengusaha yang akan menjadi eksportir harus melalui tiga kementerian untuk melengkapi dokumen untuk melengkapi syarat ekspor, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perdagangan, dan Kementerian Keuangan. Dokumen-dokumen dari KKP digunakan untuk menjamin bahwa produk yang dihasilkan aman dan berkualitas. Sertifikasi yang harus dimiliki untuk ekspor udang adalah:
1.      Good Aquaculture Practices (GAP)
2.      Good Hachtery Practices (GHcP)
3.      Residues Monitoring Programme (RMP)
4.      Cara Budidaya Ikan yang Baik (CBIB)
5.      Cara Penanganan Ikan yang Baik (CPIB)
6.      Hazard Analysis and Critical Control Point (HACCP)
7.      Health Certificate (HC)

Dokumen berikutnya yang dibutuhkan adalah Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP) dan Surat Keterangan Asal (SKA) yang diurus oleh Kementerian Perdagangan. SIUP diperlukan untuk konfirmasi bahwa produsen yang melakukan ekspor memiliki usaha yang legal, sementara SKA digunakan untuk mendapatkan reduksi tarif. Dokumen yang diperlukan dari Kementerian Keuangan adalah Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) dan Persetujuan Ekspor Barang (PEB).

Eksportir wajib menyampaikan laporan atas pelaksanaan ekspor jenis hewan dan/atau produk hewan baik terealisasi maupun tidak terealisasi dengan melampirkan dokumen pemberitahuan ekspor barang. Apabila eksportir tidak melaksanakan kewajiban penyampaian laporan, maka eksportir akan dikenai sanksi pembekuan persetujuan ekspor.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2017 tentang Cara Penyerahan Barang, penyerahan barang dalam kegiatan ekspor dapat menggunakan cara Free on Board (FOB), Cost and Freight (CFR), Cost, Insurance and Freight (CIF), atau cara penyerahan barang dalam bentuk lainnya. Cara pembayaran untuk barang ekspor tertentu wajib menggunakan cara pembayaran Letter of Credit (L/C) atau cara pembayaran barang dalam bentuk lainnya.

Perjanjian Perdagangan Indonesia dengan Uni Eropa


                Uni Eropa merupakan perhimpunan 28 negara Eropa yang terbentuk sejak tahun 1958. Perhimpunan tersebut membuat berbagai aturan yang harus diikuti oleh negara anggotanya, contohnya seperti jenis mata uang yang digunakan maupun aturan dan batas yang digunakan untuk hubungan internasional. Indonesia merupakan salah satu negara yang bekerjasama dengan Uni Eropa. Hubungan bilateral antara Indonesia dengan Uni Eropa telah berlangsung sejak tahun 1980. Saat ini, Indonesia dan Uni Eropa tengah membuat kesepakatan untuk hubungan bilateral yang bernama Free Trade Agreement (FTA).

Uni Eropa adalah salah satu importir terbesar untuk komoditas udang memiliki aturan yang lebih kompleks dibandingkan dengan negara lain. Negara importir memberi batasan dan aturan untuk melindungi konsumen dari setiap komoditas yang akan diimpor. Uni Eropa membuat ketentuan legal requirements yang harus dipenuhi para eksportir  ke dalam dari 9 bagian:
1.      Kontrol kontaminan dalam bahan makanan
2.      Pengendalian residu obat hewan pada hewan dan produk hewan untuk dikonsumsi manusia, diperlukan hanya untuk produk budidaya
3.      Pengendalian terhadap penangkapan illegal, tidak berlaku untuk produk budidaya benih atau larva
4.      Kontrol kesehatan terhadap produk perikanan yang dikonsumsi manusia
5.      Kontrol kesehatan terhadap produk perikanan yang tidak dikonsumsi manusia
6.      Pelabelan untuk produk perikanan
7.      Standar pemasaran untuk produk perikanan, hanya diperlukan untuk Pandalus borealis
8.      Penelusuran, kepatuhan, dan tanggung jawab makanan dan pangan
9.      Voluntir – produk dari produksi organik

Aturan pertama yang harus dipenuhi adalah produk hewan yang akan diimpor ke Uni Eropa harus memiliki kandungan zat kimia dan jumlah residu yang terkontrol. Aturan lainnya yang harus dipenuhi oleh para eksportir untuk Uni Eropa ilegal fishing. Peraturan tersebut menetapkan bahwa produk perikanan yang diperoleh dari IUU fishing dilarang diperdagangkan di Uni Eropa. Para eksportir wajib melampirkan skema sertifikasi hasil tangkapan yang bertujuan untuk menjamin bahwa hasil tangkapan yang bersangkutan telah dilakukan sesuai dengan aturan konservasi dan manajemen internasional, serta diupayakan untuk memastikan penelusuran atau pelacakan produk perikanan laut.

Selain itu, impor produk perikanan dan akuakultur untuk konsumsi manusia harus mematuhi persyaratan kesehatan umum yang berkaitan dengan kebijakan kesehatan negara, establishment disetujui, sertifikat kesehatan, dan control kesehatan. Berdasarkan aturan tersebut, produk hanya dapat diimpor ke Uni Eropa jika datang dari negara yang memenuhi syarat untuk produk yang disertai dengan sertifikasi kesehatan yang layak dan telah lulus kontrol wajib di pos perbatasan pemeriksaan.

Pemerintah Eropa berhak menangguhkan impor dari seluruh atau sebagian negara importir serta mengambil tindakan perlindungan sementara jika terdapat produk yang dapat menimbulkan resiko bagi kesehatan masyarakat dan atau hewan, contohnya kasus wabah penyakit berbahaya. Produk perikanan yang akan dipasarkan di Uni Eropa termasuk produk impor harus tunduk pada aturan pelabelan untuk produk perikanan dan aturan pelabelan khusus untuk produk perikanan tertentu, serta tunduk pada standar harmonisasi.

Uni Eropa juga membuat aturan bahwa produk pertanian yang hidup dan/atau belum diproses, produk olahan pertanian untuk digunakan sebagai makanan, pakan terak, benih, dan bahan propagasi vegetatif, serta produk dengan metode produksi organic, harus sesuai dengan ketetapan meliputi beberapa aspek, yaitu produksi, pengolahan, pengemasan, transportasi, dan penyimpanan produk, serta penggunaan produk dan zat-zat tertentu dalam pengolahan makanan.

Eksportir juga dihadapkan dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pembeli (buyer requirements) di Uni Eropa. Syarat-syarat tersebut secara garis besar terbagi menjadi dua kelompok, yaitu syarat lingkungan dan syarat sosial (labour standards). Isu lingkungan yang menjadi perhatian di Uni Eropa adalah penangkapan ikan secara berlebihan menggunakan metode penangkapan ikan yang tidak memperhitungkan aspek berkelanjutan (unsustainable).

Supermarket yang menjadi tempat utama para pembeli untuk memperoleh produk perikanan memiliki peranan penting dalam distribusi perdagangan, sehingga setiap supermarket harus mempelajari syarat yang ditetapkan agar terbiasa dengan syarat-syarat pembeli di Uni Eropa. Supermarket harus menseleksi produk-produk perikanan yang akan dijual, baik dari kondisi ikan harus segar dan sehat, serta memilih ikan dari hasil penangkapan dengan metode sustainable.

  

HASIL DAN PEMBAHASAN

Potensi Pasar Ekspor Udang di Uni Eropa
Udang merupakan salah satu komoditas sektor perikanan yang bernilai ekonomi tinggi. Jumlah ekspor udang Indonesia masih tergolong fluktuatif, namun udang tetap menjadi salah satu komoditas andalan ekspor perikanan Indonesia dengan pangsa pasar mancanegara yang luas. Udang mendominasi lebih dari 40 persen hasil perikanan untuk ekspor, dimana Jepang dan Amerika Serikat menjadi negara tujuan utama ekspor.

Terdapat dua jenis udang unggulan ekspor Indonesia. Pertama, spesies udang vaname (Litopenaeus vannamei). Udang ini dikembangkan dengan teknologi intensif dan tahan terhadap penyakit. Kedua, spesies udang windu (Penaeus monodon) yang merupakan udang asli Indonesia. Pengembangannya menggunakan teknologi sederhana, tumbuh cepat, ukuran besar dan ditujukan untuk pasar ekspor Amerika Serikat, Jepang dan Eropa.

Bentuk produk udang yang diperjualbelikan di pasaran internasional cukup beragam. Keragaman bentuk produk ini menandakan bahwa setiap negara konsumen memiliki prefensi yang berbeda-beda dalam mengomsumsi udang. Berikut ini adalah berbagai variasi produk udang yang diperdagangkan di pasar dunia (Murty,1991) :
1.      Udang hidup
Jenis udang hidup yang banyak diperdagangkan ini merupakan spesies Panaeus japonicus. Udang jenis ini harganya cenderung lebih mahal karena membutuhkan teknik penanganan khusus agar udang tetap segar dan cita rasanya tidak berkurang.
2.      Udang segar
Udang dalam bentuk ini terbatas pada daerah-daerah yang dekat dengan pelabuhan perikanan. Umumnya udang segar seperti ini sudah mengalami perlakuan pendinginan di kapal setelah proses penangkapannya.

3.      Udang beku
Udang beku menempati pangsa pasar terbesar dalam perdagangan udang dunia. Hampir seluruh udang yang diekspor dan diperdagangkan di pasar dunia adalah udang beku. Udang beku dibedakan menjadi tiga jenis, yakni udang mentah (raw frozen), udang matang beku (cooked frozen), dan udang setengah matang yang dibekukan (semi-cooked frozen).
4.      Udang kering
Udang mengalami proses pengeringan secara tradisional terlebih dahulu sebelum dipasarkan. Pada umumnya proses pengeringan ini dilakukan oleh para nelayan di negara-negara berkembang.

Indonesia sebagai salah satu negara penghasil udang dunia, jika dibandingkan dengan negara lain di kawasan ASEAN, memiliki potensi pengembangan udang yang cukup besar dan terbuka. Hal tersebut didukung oleh potensi area pertambakan nasional, yang saat ini dengan luasan 1,2 juta ha dan dengan potensi efektif untuk budidaya udang sekitar 773 000 ha.

Udang merupakan salah satu komoditas sektor perikanan yang bernilai ekonomi tinggi. Jumlah ekspor udang Indonesia masih tergolong fluktuatif, namun udang tetap menjadi salah satu komoditas andalan ekspor perikanan. Indonesia dengan pangsa pasar manca negara yang luas. Udang mendominasi lebih dari 40 persen hasil perikanan untuk ekspor. Jepang, amerika Serikat, dan Uni Eropa menjadi daerah tujuan dengan volume ekspor udang terbanyak. Uni eropa yang beranggotakan 28 negara merupakan pasar terbesar dunia untuk komoditas perikanan. Udang menjadi komoditas perikanan indonesia yang banyak masuk ke pasar Uni eropa.

Grafik Ekspor Udang Menuju Daerah Tujuan Utama (Uni Eropa)
Gambar 1. Grafik ekspor udang menuju daerah tujuan utama
    (Sumber : BPS 2017 dengan Pengolahan)

Berdasarkan grafik diatas, dapat dilihat bahwa ekspor udang ke Amerika Serikat dan Jepang, jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan ekspor ke Uni Eropa. Dari grafik diatas, jumlah ekspor udang ke Amerika cenderung mengalami peningkatan dari tahun 2000-2015. Namun, ekspor udang ke Jepang dan Uni Eropa menunjukkan tren penurunan. Ekspor udang terbesar ke Uni Eropa terjadi pada tahun 2006 sebesar 31,016 ton. Namun, semenjak tahun 2007 sampai dengan 2015 ekspor udang ke Uni Eropa jumlahnya terus menurun. Pada tahun 2015, jumlah volume ekspor hanya 15,993 ton. Penurunan volume ekspor dari tahun 2007 disebabkan karena penurunan kualitas udang dan adanya tarif bea masuk yang ke Eropa.

Permasalahan Penurunan Kualitas Udang Ekspor Indonesia Ke Uni Eropa
(Hambatan Non Tarif di Uni Eropa)
Penurunan ekspor Indonesia sejak tahun 2007 berkaitan sangat erat dengan turunnya kualitas udang di indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) menjabarkan bahwa 10 tahun belakangan ini produksi udang anjlok hingga 50 persen akibat serangan virus yang membuat banyak udang mati. Virus yang melanda tambak-tambak udang di Indonesia diduga kuat muncul dari tanah. Di sisi lain, peningkatan standar negara tujuan eskpor juga diduga berkontribusi terhadap terhadap semakin menurunnya ekspor udang.

Faktor-faktor tersebut membuat udang Indonesia semakin kehilangan daya saingnya di pasar global dan semakin tergerus oleh negara eksportir udang lainnya yang memiliki teknologi, cara pengolahan, kualitas, dan strategi pemasaran yang lebih baik. Lebih spesifik, bahkan dalam perdagangan internasional terkadang udang dari Indonesia didapati terinfeksi oleh virus dan terkontaminasi dengan berbagai antibiotik dalam dosis tinggi, seperti aksitetrasiklin, klortetrasiklin, dan kloramfenikol.

Maka dari itu, Uni Eropa menerapkan persyaratan bebas virus dan antibiotik terhadap impor udang. Peraturan ini diatur dalam Directive 96/23 yang mensyaratkan semua udang impor agar bebas dari kloramfenikol, yang sering digunakan untuk mengendalikan penyakit oleh para petani udang dalam meningkatkan produktivitasnya. Udang Indonesia yang diekspor ke Uni Eropa diatur dalam 3 (tiga) kode HS atau HS Code menurut Kementerian Perdagangan, yakni 030613: udang kecil dan udang biasa, termasuk yang berkulit, dimasak dengan dikukus atau dengan direbus dalam air, beku; 030623: udang kecil dan udang biasa, hidup, segar, dingin atau dalam air garam, atau dimasak dengan dikukus atau direbus dalam air, tidak beku; 160520: udang kecil dan udang biasa (dioleh atau diawetkan).

Persyaratan dan Regulasi Non Tarif Untuk Ekspor Udang
Produk perikanan harus memenuhi syarat kesehatan dan keamanan konsumen sebelum memasuki pasar EU. Secara garis besar Udang hanya dapat masuk ke EU jika memenuhi syarat sebagai berikut (APINDO2014)
·         Berasal dari negara yang sudah terdaftar
·         Ditangkap dari kapal yang terdaftar atau berasal dari produksi budidaya yang tersertifikasi
·         Menyertakan sertifikat sehat(Health Certification)
·         Berhasil melalui inspeksi di perbatasan EU sebelum masuk ke pasar EU

Setelah masuk pasarpun, eksportir harus berhadapan dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh buyer, secara garis besar buyers requiretments  terbagi menjadi dua, yaitu environmental dan  social requirement. Secara lebih jelas kebijakan non tarif yang berpengaruh pada produk udang Indonesia akan dijelaskan dalam tabel yang dikutip dari penelitian Samuel, 2012:

Tabel 1. Regulasi Kebijakan Non Tarif (Sumber : EU 2010)
No
Regulasi
Deskripsi
1
Council Directive 91/493/EEC
·         Mengatur kondisi kesehatan produk dan pemasaran produk perikanan
·         Ketentuan bagi negara pengekspor untuk memiliki sistem yang setara dengan EU
2
Council Directive No. 92/48/EEC
Batas minimum higien pada produk perikanan
3
Regulasi no 446/2001
Menetapkan taraf maksimum bagi pencemaran tertentu dalam bahan pangan
4
Regulasi no. 178/2002 dari dewan dan parlemen Eropa
Prinsip-prinsip umum dan persyaratan hokum pangan, pembentukan otoritas keamanan pangan Eropa dan penetapan prosedur yang terkait dengan keamanan pangan
5
Regulasi No. 852/2004
Regulasi ini merupakan ratifikasi SPS dari WTO dan standar keamanan pangan international yang memuat codex Alimentarius
6
Regulasi No. 853/2004
Aturan higienis yang spesifik untuk makanan yang berasal dari hewan (pengakuan dari perusahaan, kesehatan, dan identifikasi pendanaan, impor, informasi rantai pangan
7
Regulasi No. 854/2004
Aturan khusus bagi organisasi pengawasan resmi atas produk asal hewan yang dimaksudkan untuk konsumsi manusia
8
Regulasi No 2073/2005
Kriteria mikrobiologis untuk bahan pangan
9
Commision Decision 2006/236/EC
Kondisi khusus untuk produk perikanan asal Indonesia dan yang ditujukan untuk konsumsi manusia dan mengatur systemic border control yaitu mengecek setiap container pada setiap port
10
Commission Decision 2008/660/EC
Mengubah keputusan dari CD 2006/236/EC menjadi persyaratan untuk uji produk perikanan asal Indonesia untuk keberadaan logam berat dan histamin pada produk tangkap
11
Commission Decision 2010/220/EU
Mewajibkan uji sampel terhadap paling sedikit 20% dari produk perikanan budidaya di semua pelabuhan pintu masuk ke Eropa

Dalam penerapan proses seleksi barang yang masuk, uni eropa  menerapkan RASFF(Rapid Alert System for Food). Sistem ini bekerja dengan melakukan pemberitahuan melalui tiga step notifikasi yaitu, pemberitahuan peringatan, pemberitahuan informasi dan pemberitahuan penolakan di perbatasan, dengan metode ini produk yang tidak sesuai dengan standard akan bisa dicegah lebih cepat untuk masuk ke pasar. Selain RASFF hal yang menjadi perhatian adalah HACCP(Hazard Analysis Critical Point), prosedur ini mengharuskan produk udang tidak terkontaminasi zat berbahaya atau zat kimia yang tidak dapat ditolerir pada jumlah tertentu, prosedur ini diberlakukan karena ditakutkan pada produk-produk udang hasil budidaya di Indonesia terkontaminasi zat kimia terlalu banyak yang dilator belakangi keinginan untuk meningkatkan jumlah produksi. 

Solusi Terhadap Penurunan Kualitas Udang Ekspor (Hambatan Non Tarif) di Bagian Hulu
Untuk menjawab penurunan kualitas udang, pemerintah melalui kementerian kelautan dan perikanan mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 75/PERMEN-KP/2016 tentang pedoman umum membesarkan udang, berlandaskan akan peraturan tersebut pemerintah akan  melakukan pembimbingan dan pemantauan dalam pelaksanaannya. Tujuan dari Peraturan Menteri ini adalah untuk memberikan informasi dan pedoman yang tepat kepada pemerintah, pemerintah daerah, pelaku usaha ditiap-tiap daerah serta masyarakat setempat untuk mengelola dan mengembangkan budidaya udang menjadi lebih produktif, efisien, menguntungkan dan berkelanjutan.

Solusi Terhadap Penurunan Kualitas Udang Ekspor (Hambatan Non Tarif) di Bagian Hilir
Untuk menjawab permasalahan penurunan kualitas udang, pemerintah mengeluarkan peraturan pemerintah. Melalui kementerian kelautan dan perikanan, pemerintah menetapkan kebijakan mengenai proses yang harus dilakukan produsen yang akan menjadi pelaku ekspor untuk mencegah adanya kejadian barang ekspor yang ditolak pasar karena kontaminasi atau cacat produk.














Gambar 2. Code of Conduct Responsible Fisheries
     (Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan 2016)
Secara garis besar gambar diatas adalah upaya dari Code of Conduct Responsible Fisheries yang diupayakan pemerintah melalui kementerian kelautan dan perikanan (KKP) dalam mengatasi permasalahan kualitas barang ekspor sector perikanan. Regulasi ini adalah bentuk reaksi pemerintah untuk menyaring produsen-produsen udang dalam negeri dan sebagai pedoman dalam mempersipkan apa saja yang perlu dan harus dipersiapkan. Sebagai gerbang terakhir supplier diharapkan memenuhi semua surat-surat dan sertifikasi wajib terhadap produk udang yang akan di ekspor sehingga tidak ada lagi kasus pengembalian barang dikarenakan produk yang terkontaminasi.

Permasalahan mengenai ekspor ini menjadi permasalahan yang cukup luas, sehingga regulasi pada hilir saja belum dapat menyelesaikan permsalahan, jika dimisalkan regulasi pemerintah terhadap kualitas udang ditingkatan supplier sudah berhasil, maka ada pengurangan kuantitas pada jumlah produk yang di ekspor Indonesia dikarenakan tidak lolos standarisasi, jika hal itu terjadi maka ada pengurangan pendapatan dana jangka panjangnnya, kuota dagang Indonesia untuk pasar EU akan dikurangi melihat trend produk yang sedikit, sehingga dirasakan perlu juga ada pemantauan dan penyuluhan pada tingkatan produsen atau pembudidaya udang.

Hambatan Tarif di Uni Eropa (Pembanding : Amerika dan Jepang)
Tarif bea masuk yang dikenakan Amerika Serikat pada produk udang yang tidak di olah (beku, direbus, digarami, dan dikeringkan) adalah nol persen atau free. Untuk produk udang olahan, tarif bea masuk yang dikenakan adalah lima persen sampai sepuluh persen, bahkan kadang udang diterapkan “special rate” yang lebih tinggi yaitu 20 persen.

Sebelum Indonesia bergabung dalam EPA (Economic Partnership Agreement) tahun 2007, tarif umum yang ditetapkan Jepang pada komoditas udang olahan adalah sebesar 4,8 - 6 persen sementara tarif dari WTO diwajibkan sebesar 4,8 - 5,3 persen. “Special rate” yang diberikan negara Jepang untuk produk olahan sebesar 3,2 persen, tetapi untuk produk olahan yang termasuk kategori “other” diberikan tarif nol persen atau free. Setelah Indonesia bergabung dalam EPA, penetapan tarif yang diberlakukan Jepang untuk produk udang olahan Indonesia adalah free. Untuk produk udang non olahan (beku, direbus, digarami, dan dikeringkan) juga diberikan tarif bea masuk nol persen atau free.

Penerapan tarif bea masuk produk perikanan ke negara-negara Uni Eropa berkisar nol persen untuk belut hidup (live eels) sampai 25 persen untuk produk kaleng (canned mackerel, bonito and anchovies). Secara umum, tingkat tarif yang 40 diberlakukan oleh Uni Eropa tergolong paling tinggi jika dibandingkan negaranegara maju lainnya seperti Amerika Serikat dan Jepang. Tarif bea masuk biasanya akan semakin tinggi bagi “value added products”, namun Uni Eropa menyediakan mekanisme yang berbeda untuk mengurangi pajak (duties) yaitu rata-rata tarif dikurangi sekitar 3-4 persen.

Tabel 2. Tarif Bea Masuk UE, Amerika, Jepang (DG Taxud (2012), USITC (2012), Japan Customs (2012))
Penetapan tarif oleh Uni Eropa terhadap produk ekspor Indonesia merupakan hambatan yang paling menonjol yang dihadapi industri perikanan Indonesia. Jika dibandingkan penetapan tarif yang diberlakukan Uni Eropa terhadap Indonesia dengan negara-negara bekas jajahan negara-negara Eropa seperti yang tergabung dalam ACP (Africa, Carribea, Pacific Countries), tarif yang diberlakukan terhadap Indonesia merupakan suatu jumlah yang besar. Negara-negara yang tergabung dalam ACP dikenakan tarif rendah atau bahkan bebas tarif seperti yang dialami negara-negara persemakmuran yang mengekspor ke Inggris.

Rincian Hambatan Tarif di Uni Eropa
Menurut Kementerian Perdagangan (2014), hambatan tarif merupakan pajak terhadap komoditas impor masuk merupakan bentuk intervensi pemerintah yang sudah lama dilakukan, terdapat dua motif ekonomi yang mendasari intervensi ini. Pertama tarif memberikian pemasukan bagi pemerintah melalui pajak. Kedua tarif menekan masuknya barang impor, sehingga dapat membantu produsen dan supplier domestic dalam persaingan pasar dengan barang-barang impor.

Tabel 3. Full Tarif (MFN Tarif)
Item
CN
Tarif(%)
Prawns of the genus Penaeus for processing
0306 17 92 20
12

Tabel 4. Trade Agreement between EU with EEA (Europian Economic Area) and Chile
Item
CN
Tarif for EEA(%)
Tarif for Chile(%)
Prawns of the genus Penaeus for processing
0306 17 92 20
12
0

Tabel 5. Tarifs applicable to a range of seafood items under the three arrangements (GSP, GSP+ and EBA) of the GSP
Item
CN
Tarif GSP, India(%)
Tarif GSP+, Philippines
Tarif EBA, Bangladesh
Prawns of the genus Penaeus for processing
0306 17 92 20
4.2
3.6
0
Tabel. Tarif bea masuk (Sumber : Sea Fish 2017)
Diatas adalah kebijakan mengenai tarif yang berlaku untuk komoditi udang yang masuk ke wilayah EU. Terdapat 3 perbedaan harga pada tarif ekspor yang diberlakukan oleh EU, yang pertama adalah MFN(Most Favoured Nation) atau Full Tarif, tarif ini berlaku bagi negara pengekspor yang tidak memiliki perjanjian maupun kemitraan apapun dengan EU sehingga negara yang akan mengekspor akan dikenakan tarif normal. Kedua adalah Tarif yang berlaku melalui bentuk kesepakatan baik bilateral maupun multilateral, jenis tarif kedua ini berlaku untuk negara-negara yang tergabung pada Uni Eropa dan chile. Ketiga adalah tarif yang diberlakukan oleh EU terhadap beberapa negara tertentu, penetapan tarif ini bukan termasuk bentuk kerjasama antara negara, melainkan preferensi EU dalam memberikan kemudahan kepada beberapa negara tertentu. Jenis tarif ketiga ini dibedakan menjadi tiga, yaitu GSP, GSP+ dan EBA. GSP(general system preferences) adalah pengurangan tarif impor yang diberlakukan pada 81 negara dan wilayah berkembang. Tujuan GSP+ untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan pemerintahan yang bersih, GSP+ menyediakan keuntungan tambahan terhadap negara yang menerapkan standar internasional terhadap kebebasan manusia (HAM) dan buruh, perlindungan lingkungan, perlawanan terhadap obat-obatan terlarang, dan pemerintahan yang bersih. Ketiga adalah  EBA(The Everything but Arms) kebijakan ini memberikan negara pengekspor mendapatkan keuntungan free tarif barang masuk dan free quota barang masuk untuk 49 negara berkembang yang telah ditetapkan oleh UN(United Nation).

Indonesia termasuk kedalam list negara GSP EU, sehingga tarif yang berlaku untuk produk udang adalah sebesar 4.2,% namun untuk golongan produk Shrimp Prawn dikarenakan termasuk kedalam produk ‘sensitif’ sehingga ada penambahan tarif masuk sampai dengan 3%. Penaikan pajak masuk seperti ini biasa dilakukan negara pengimpor sebagai reaksi dari terlalu dominannya atau terlalu banyaknya produk ekspor dari negara tersebut, sehingga dalam jangka panjang akan ditakutkan pengendalian pasar dalam negeri oleh negara pengekspor. Kebijakan ini biasa dilakukan untuk mempertahankan harga pasar dan mengkontrol kuantitas barang masuk. Meskipun Indonesia sudah termasuk kedalam list negara GSP EU namun beban pajak masuk sebesar 4,2% - 7% masih dirasakan berat.

Penerapan tarif pajak masuk ini menjadi satu hambatan yang cukup sulit dihadapi oleh perikanan Indonesia. Jika membandingkan  tarif dagang yang diberlakukan terhadap negara bekas jajahan negara-negara Eropa yang tergabung dalam ACP (Africa, Carribea, Pasific Countries), tarif yang diberlakukan terhadap Indonesia merupakan suatu jumlah yang besar. Negara-negara yang tergabung dalam ACP dikenakan tarif rendah atau bahkan bebas tarif, sedangkan Indonesia tidak mendapatkan hak istimewa tersebut, meskipun Indonesia pernah di jajah Belanda dalam waktu yang tidak sebentar. Pendekatan dan usulan untuk mendapatkan kompensasi dari tarif dari Belanda karna pernah menjajah sudah pernah dilakukan, namun tidak berhasil. Penerapan tarif yang tinggi juga membuat Indonesia sulit bersaing dengan beberapa negara pengekspor udang lainnya semisal Vietnam yang telah melakukan FTA dengan EU terlebih dahalu, berdasarkan data ITC (International Trade Center) 2019  terlihat trend penurunan ekspor udang ke EU yang cukup signifikan, pada tahun 2014  ekspor Indonesia mencapai nilai 85,324(dalam ribu dollar) namun nilai ini terus menurun hingga 2018, tahun 2015 : 67,693(dalam ribu dollar) , 2016 : 64,060(dalam ribu dollar) , 2017 : 51,674(dalam ribu dollar) , 2018 : 53,223(dalam ribu dollar). Menurut FAO yang dikutip oleh Forbil Institute memperlihatkan bahwa pada tahun 2014 EU mulai melirik pasar udang murah dari Vietnam, Ekuador dan India, selain masalah harga ketersedian barang yang melimpah juga menjadi tolak ukur pemilihan negara-negara tersebut.

Solusi Terhadap Hambatan Tarif Ekspor Udang Indonesia ke Uni Eropa
Dalam mengatasi hal tersebut Indonesia telah berupaya melakukan trade creation untuk masalah tarif dagang yang berlaku saat ini melalui bentuk kerjasama CEPA (comprehensive economic partnerhip agreement). Kebijakan dari CEPA yang diharapkan dapat memberi dampak positif bagi ekspor produk udang adalah dengan diberlakukannya zero tarif dan penambahan kuota sehingga Indonesia memiliki kesempatan dan keuntungan dalam persaingan didalam pasar EU. Bila Indonesia hanya mengandalkan GSP EU Indonesia tidak akan bisa mengoptimalkan sektor-sektor strategis yang dimilikinya, karena GSP bukan bentuk kerjasama antara dua pihak melainkan bentuk preferensi yang diberikan pihak pertama kepada pihak kedua, yang membuat pihak kedua hanya mengikuti keputusan dan regulasi yang ditetapkan oleh pihak pertama. Dengan adanya CEPA diharapkan Indonesia memiliki bargaining position dalam aktivitas ekspor dan dapat mengoptimalkan sektor-sektor strategis di pasar EU melalui pengahapusan tarif preferensi pada beberapa produk termasuk didalamnya adalah udang.

PENUTUP

Simpulan
Udang merupakan salah satu komoditas sektor perikanan yang bernilai ekonomi tinggi. Jumlah ekspor udang Indonesia masih tergolong fluktuatif, namun udang tetap menjadi salah satu komoditas andalan ekspor perikanan. Semenjak tahun 2007 sampai dengan 2015, eskpor udang ke Uni Eropa menunjukkan tren penurunan. Hal ini dikarenakan adanya hambatan non tarif dan hambatan tarif, eskpor udang ke Uni Eropa.

Hambatan non tarif, berupa adanya penurunan kualitas udang yang diekspor ke Uni Eropa. Dalam perdagangan internasional, udang dari Indonesia terkadang didapati terinfeksi oleh virus dan terkontaminasi dengan berbagai antibiotik dalam dosis tinggi, seperti aksitetrasiklin, klortetrasiklin, dan kloramfenikol. Maka, pemerintah mengeluarkan Code of Conduct Responsible Fisheries. Hal ini berbentuk regulasi untuk menyaring produsen-produsen udang dalam negeri dan sebagai pedoman dalam mempersiapkan apa saja yang perlu dan harus dipersiapkan. Diantarnya, persyaratan GMP, HACCP, Health Certificate dan lain-lain.

Hambatan tarif merupakan adanya pajak terhadap komoditas impor yang masuk ke dalam suatu wilayah negara. Adanya tarif bea masuk sebesar 4,2-7 %, memberatkan eksportir udang Indonesia. Sementara, negara-negara yang tergabung dalam ACP dikenakan tarif rendah atau bahkan bebas tarif seperti yang dialami negara-negara persemakmuran yang mengekspor ke Inggris. Maka dari itu, pemerintah berupaya melakukan trade creation untuk masalah tarif dagang yang berlaku saat ini melalui bentuk kerjasama CEPA (comprehensive economic partnerhip agreement). Kebijakan dari CEPA yang diharapkan dapat memberi dampak positif bagi ekspor produk udang adalah dengan diberlakukannya zero tarif dan penambahan kuota.

Saran
            Udang merupakan komoditas unggulan Indonesia, udang mendominasi lebih dari 40 persen hasil perikanan untuk ekspor. Maka dari itu, pemerintah perlu memerhatikan para nelayan dan pengolah udang. Upaya penyuluhan perlu dilakukan secara intensif agar para nelayan/ pengolah udang dapat memenuhi regulasi yang diperlukan untuk ekspor. Selain itu, kerja sama melalui CEPA perlu sering dirundingkan dengan pihak Uni Eropa, sehingga tarif masuk udang dapat turun, sehingga jumlah ekspor udang Indonesia ke Eropa meningkat.
























DAFTAR PUSTAKA


Kementrian Luar Negeri. 2018. Kerja Sama Regional Uni Eropa. https://kemlu.go.id/portal/id/read/149/halaman_list_lainnya/uni-eropa (diakses pada tanggal 12 Agustus 2019)

Setiyorini A, Analisis Permintaan Ekspor Udang Indonesia di Pasar Dunia (Studi Kasus: Pasar Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa). Institut Pertanian Bogor. 2010

[APINDO-EU ACTIVE]. Advancing Indonesia’s Civil Society In Trade and Investment. 2014. Langkah dan Strategi Ekspor ke Uni Eropa: Produk Udang. Jakarta (ID): Apindo-Eu Active

[KEMENPERDAG]. Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. 2019. Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan. Jakarta (ID): Kementerian Perdagangan

Pemerintah Indonesia. 2019. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2017 tentang Cara Pembayaran Barang dan Cara Penyerahan Barang dalam Kegiatan Ekspor dan Impor. Jakarta (ID): Sekretariat Negara

Sutedi A. 2014. Hukum Ekspor Impor. Jakarta (ID): Raih Asa Sukses

APINDO. 2014. Market Brief : Langkah dan Starategi Ekspor ke Uni Eropa. Jakarta (ID): APINDO EU.

Apindo. 2014. Panduan Ekspor Udang ke Uni Eropa. [internet]. [diunduh 2019 Agustus  12]. Tersedia dari : https://apindo.or.id/userfiles/publikasi/pdf/Leaflet_Udang_opt.pdf

[BPS] Badan Pusat Statistik. 2017. Ekspor Udang Menurut Tujuan Utama [internet]. [diunduh 2019 Agustus  9]. Tersedia dari:https://www.bps.go.id/statictable/ 2014/09/08/1015/ ekspor-udang-menurut-negara-tujuan-utama-2000-2015.html

DG Taxud. 2012.Database of European Commission Online Customs Tariff. DG Taxud EU.

Hady H. 2004. Teori dan Kebijakan Perdagangan Internasional. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia

International Trade Center. 2019. Trade Map [internet]. [diunduh 2019 Agustus 9]. Tersedia dari :https://www.trademap.org/Bilateral_TS.aspx?nvpm=1%7c%7c25%7c360%7c%7c0306%7c%7c%7c4%7c1%7c1%7c1%7c2%7c1%7c1%7c1%7c1.

Kementerian Kelautan Perikanan. 2014. Pedoman Ekspor Perikanan ke Negara Mitra [internet]. [diunduh 2019 Agustus  9]. Tersedia dari : http://meacenter.kkp.go.id/new/wp-content/uploads/2016/11/PEDOMAN-EKSPOR-PERIKANAN-KE-NEGARA-MITRA.pdf.

Kementerian Kelautan Perikanan. 2016. PERATURAN MENTERI KELAUTAN DAN PERIKANAN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 75/PERMEN-KP/2016 TENTANG PEDOMAN UMUM PEMBESARAN UDANG WINDU (PENAEUS MONODON) DAN UDANG VANAME (LITOPENAEUS VANNAMEI).  [internet]. [diunduh 2019 Agustus  9]. Tersedia dari : http://bkipm.kkp.go.id/bkipmnew/public/files/regulasi/75-permen-kp-2016-ttg-pedoman-umum-pembesaran-udang-windu.....pdf.

Malik TD. 2017. Ekspor Udang Indonesia di Masa 4.0 [internet]. [diunduh 2019 Agustus  9]. Tersedia dari : http://meacenter.kkp.go.id/new/wp-content/uploads/2016/11/PEDOMAN-EKSPOR-PERIKANAN-KE-NEGARA-MITRA.pdf.

Murty KH. 1991. Perdagangan Udang Internasional. Cetakan I. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Nababan SC. 2012. Penerapan Kebijakan Perdagangan International Uni Eropa dan Pengaruhnya Terhadap Ekspor Udang Indonesia. Bogor (ID) : IPB.

Seafish. 2017. Tariff on Seafood Imported into The EU. [internet]. [diunduh 2019 Agustus  9]. Tersedia dari :https://www.seafish.org/ media/publications/Tariffs_on _imported_seafood _170330.pdf.

Umar F. 2014. Kebijakan Hambatan Perdagangan Atas Produk Ekspor Indonesia di Negara Mitra Dagang. Litbang Perdagangan Vol.II. no.2 thn 2008 : 217-218


































LAMPIRAN















\











PERSAMAAN DAN PERBEDAAN
KEBIJAKAN TARIF IMPOR  - KEBIJAKAN HARGA MINIMUM

Perihal
Jenis Kebijakan
Kebijakan Tarif Impor
Kebijakan Harga Minimum
Persamaan


1.    Sasaran
Produsen
2.    Harga
Nilai consumer loser meningkat
3.    Pemanfaatan sumber daya domestik
Pemanfaatan sumber daya domestik baik modal, tenaga kerja, dan sumber daya domestik untuk operasional kegiatan akan meningkat
4.    Dampak terhadap produsen dan konsumen
Meningkatkan surplus produsen dan surplus konsumen menurun
5.    Dampak terhadap jumlah penawaran
Jumlah penawaran (QS) meningkat
6.    Dampak terhadap jumlah permintaan
Jumlah permintaan (QD) menurun
7.    Kualitas beras
Kualitas produk beras dalam negeri meningkat agar dapat bersaing dengan kualitas beras impor
Perbedaan


1.    Sasaran produk
Produk dari luar negeri
Produk dalam negeri
2.    Dampak terhadap kurs
Berpengaruh terhadap kurs
Tidak berpengaruh terhadap kurs
3.    Waktu penggunaan kebijakan
Bisa digunakan kapan saja
Digunakan ketika musim panen raya
4.    Dampak terhadap pemerintah
Pemerintah mendapatkan keuntungan
Pemerintah mengeluarkan biaya untuk membeli stok beras yang ada di pasar
5.    Nilai tarif atau harga yang digunakan
Di bawah harga internasional
Di atas harga domestik
6.    Inflasi dalam negeri
Tidak terdapat pengaruh
Terdapat peningkatan tarif impor
7.    Kualitas produk
Tidak memberikan pengaruh kepada harga beras domestik
Memberikan pengaruh kepada beras domestik untuk meningkatkan kualitasnya agar dapat bersaing





Komentar

Postingan Populer